NO caption

NO caption

Senin, 03 Juni 2013

No Tittle (Cerbung)

Bruakk.. “Lo punya mata gak sih? Kalau jalan pake mata dong” teriak Nadia mengagetkan se-isi kantin. “Maaf,Nad. Maaf” lirih Sisil. “Punya mata makanya dipake dong. Mata udah empat aja masih suka nabrak orang” ucap Nadia sembari melangkah pergi. Nadia, siswi ter…ter..ter.. di SMA Jaya Anugrah. Tergalak, teregois, tersok ngatur, teralay *ups*, tercantik sih kata orang yang kepalanya udah miring. *eh*. Kejadian tadi di kantin, sebenarnya bikin gue lirih banget sama nasib Sisil yang udah jatuh kepalanya masuk sumur pula. Udah di marah – marahin terus dipermaluin lagi sama si Nadia. Kalo gue jadi Sisil, gue pasti bakalan ngomong gini ke Nadia. “Mata? Hello….. kalo jalan pake mata, lo gak akan pernah nyampe ke tempat tujuan lo. Jalan tu pake kaki bukan pake mata.” Hahahahha. Miris deh. Dan kalo gue boleh perbaikin kata – kata Nadia tadi, gue pasti bilang gini “Lo bisa ngeliat jalan gak sih?” simple dan gak ada kalimat yang berarti gandakan?                                                                                   
Oh ya, gue lupa kenalin diri. Gue Acha Adinata, siswi yang paling pendiam dan gak suka keributan. Gue cinta perdamaian. No rusuh, No tawuran, dan satu lagi No perdebatan yang gak ada ujungnya. Catet tuh! Simple aja, “Terserah apa yang anda pikirkan tentang saya” Motto hidup gue coy. Gue sendiri gak suka berurusan sama Nadia. Bakalan ada perdebatan yang panjang lebar dan gak ada habis – habisnya.                                                                                     
Doorrrr.. Suara Sinta yang seketika bikin Acha latah gak karuan. “Apaan sih lo? Bikin kaget gue aja. Seneng ya, liat temennya kayak gini?” bentak Acha. “Sorry, cha. Gue gak sengaja.” Kata Sinta memelas. Duh, kalo tampangnya dia gak memelas kayak gitu udah habis tuh dia ditangan gue. “Ya deh, gapapa. Ngapain lo kesini? Kangen sama gue yah?” “iyuhh -__- mana mungkin” jawab Sinta sambil mengkerutkan dahi. “Trus ngapain?” Tanya Acha ketus. “Cuma mau bilang, tadi gue ngeliat abang lo tuh dikantin. Abang lo cakep juga ya.” Kata Sinta sambil ngelirik – lirik sok imut yang pengen banget minta dicakar. Grrrr.. “Cakep? Lo suka sama abang gue?” Tanya Acha penasaran. “Suka? Hmm..”                       
########
            Sinta Artasia Martaria, anak pertama dari Bapak Arta Wiguna, Jendral Pajak Indonesia. Sinta memang anak konglomerat. Keluarganya sangatlah kaya raya, berbanding terbalik dengan keluarga gue saat ini. Meskipun keluarga Sinta kaya raya, Sinta gak sombong dengan keadaannya sekaramg. Sinta pernah bilang gini ke gue “Harta dan kekayaan ini bukan hasil usaha gue, melainkan hasil usaha dan kerja keras bokap gue. Buat apa menyombongkan harta dan kekayaan yang berasal dari kerja keras orang lain meskipun itu orang tua lo sendiri?” Bijak bener kata-katanya. Jujur, gue salut sama Sinta.                                                                                 
 Sinta cantik, tajir, baik, lumayan pinter juga. Jadi gak salah kalau banyak cowok yang ngincer dia buat di jadiin pacar atau sekedar bahan taruhan. Bahan taruhan? Ya, sikap Sinta yang selalu cuek sama cowok. Bikin gak ada satupun cowok yang gampang naklukin dia. Itu tantangan buat cowok – cowok tajir dan sok cakep kayak…………….                                                       

“Acha Adinata!! Acha! Acha Adinata!” “Cha. Chacha.” “Cha please bangun! Jangan bikin gue panik. CHAAAAA” “Tolong bawa ke ruang UKS ya.” Pinta Sinta. UKS SMA Jaya Anugrah, sudut ruangan. “Chaa.. lo udah sadar? Cha?” “mm.. gue kenapa ada disini?” “Tadi lo jatuh deket tangga.” “Hah? Kok bisa?” “Cha! Lo gak inget kejadian tadi? Cha lo jangan amnesia.” “sumpah deh, gue gak ngerti kenapa gue disini, kenapa gue bisa jatuh, dan kejadian tadi? Maksud lo apa?” Tanya Acha pada Sinta. “Jadi lo, bner – bner gak inget?” Tanya Sinta. Acha hanya menggeleng – gelengkan kepalanya. “Lo gak apa – apa kan cha?” Tanya seorang cowok bertubuh tinggi, berkulit putih yang sedari tadi hanya berdiri disamping rak kaca. “Gue gak kenapa kok kak. Cuma sedikit pusing aja.” Jawab Acha. “Kak? Cha.. tumben lo panggil dia kak.” “Hah?” “Cha! Achaaa.. Chacha!” “yah, kak. Acha pingsan lagi. Gimana ni kak?” “Yaudah. Bawa dia ke rumah sakit aja.”  
Rumah Sakit Pelita Husadha 15.00 WIB, Unit Gawat Darurat. “Dok, adik saya gimana?” “Adik anda………” “Kenapa dengan adik saya, dok?” “Adik anda sedang dalam kondisi kritis. Dia mengalami gegar otak.” “Apa, dok? Bagaimana mungkin?” “Nanti saya jelaskan di ruangan saya. Adik anda akan kami pindahkan ke ruangan ICU terlebih dahulu.” “baik,dok.”                                
“Chaa.. maafin gue. Chaa. Please bangun. Gue emang bodoh, bikin lo kayak gini. Chaaa.. please bangun.” Air mata membasahi pipi Sinta, ketika ia sadar bahwa kesalahannya begitu menyakiti sahabatnya sendiri. Keadaan ruangan yang hening, hanya bunyi mesin detak jantung Acha yang terngiang disela – sela sudut kamar. “Sinta, udah bukan salah kamu kok.” Kata cowok bertubuh tinggi dan  berkulit putih itu. “Tapi, kak.. ini salah Sinta. Gara – gara Sinta. Adik kakak jadi kayak gini.” “Enggak Sinta, dianya aja yang bodo kok. Dia teledor.” “Kak.. Sinta salah, Sinta minta maaf.” Sinta berlari keluar dari kamar Acha. “Sintaaa….”           “Cha, Sinta janji.. sinta bakalan ngelakuin apapun demi Acha sembuh.. Acha harus sembuh.” Kata Sinta dalam hati.                                                                                                                                  
Kringgg.. “Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.” “Pa, papa dimana? Sinta perlu papa.” “Adik anda akan mengalami gangguan saraf apabila ia sadar nanti. Ia tidak bisa mengingat dengan lama. Atau bahkan setelah ia sadar nanti, ia akan mengalami kelumpuhan. Di karenakan benturan yang keras di otak kecil nya. Saraf – saraf otaknya tidak akan berfungsi dengan baik.” “Apa, dok? Adik saya bisa sembuh gak?” “kemungkinan untuk sembuh total hanya 5%” “apa dok? Tolong bantu adik saya sembuh, dok.” “Saat ini di Indonesia, masih sulit untuk menyembuhkan pasien yang mengalami seperti ini. kami disini hanya membantu sebisa mungkin.” “Jadi, Acha harus berobat di luar negeri, dok?” “Untuk yang terbaik, bisa dilakukan di Jerman. Alat – alat dan tim medis disana lebih canggih dari disini.” “Kak, Acha gimana?” Tanya Sinta yang seketika membuat cowok berkulit putih itu terenyah dari lamunannya. “belum ada perkembangan,dik”
########################################


Soekarna Hatta Airport, 22 June 2010. 4 P.M. “Chaa, gue bakalan nunggu lo disini. Lo harus balik ke Indonesia buat gue. Cha, lo harus sembuh. Chaaaa.. maafin gue. Cha sampai jumpa nanti,”  Pesawat Boeing R73 mengudara, meninggalkan Indonesia. “Sinta, kakak janji bakalan bawa Acha pulang ke Indonesia.” “Acha, harus sembuh. Sinta terimakasih. Acha akan kembali buat Sinta.” Kata Bayu dalam hati sembari ia menatap adiknya yang belum sadarkan diri.                                                                                                                                                                Bayu Adi Pramudita, biasa dipanggil Bayu. Bayu anak pertama dari Bapak Adi Wicaksana. Bayu yang merupakan kakak Acha. Bayu yang sering dipanggil Bang Bay oleh adiknya. Bayu sangat menyayangi adiknya, meskipun ia tahu adiknya itu……… “Permisi, mas. Mau makan apa? Kami menyediakan Steak ayam dan nasi goreng udang.” Kata salah seorang pramugari. “Steak ayam aja, mbak.”      Kemudian pramugari tersebut menyerahkan sepiring steak ayam kepada Bayu. Bayu yang baru saja lulus dari SMA Jaya Anugrah harus melanjutkan sekolahnya di Jerman. Bayu yang awalnya bercita – citakan menjadi polisi harus mengurungkan niatnya. “Cha, Bang Bay janji bakalan jagain Acha. Bang Bay akan tetap ada buat Acha.”
################################
            “Akhirnya.. Papa dimana? Sinta perlu papa?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar