NO caption

NO caption

Senin, 03 Juni 2013

Puisi Terindah

                Sinta menyukai pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi gurunya cantik dan pintar seperti Bu Sri. Sinta kadang iri dengan Irma, teman sekelasnya, yang pandai membaca puisi. Irma pandai membaca puisi di depan kelas. Tidak seperti Sinta yang pemalu. Tetapi, Sinta bisa menulis puisi yang sangat indah. Bu Sri sering memberikan tugas membuat puisi. Sinta tidak sabar ingin memperlihatkan puisi ciptaannya kepada Bu Sri. Selama ini, puisi – puisi Sinta hanya mengisi diari kesayangannya.                                                                                                                          
Bu Sri membagikan hasil pekerjaan yang sudah dibaca dan diberi nilai, disertai komentar. “Kamu memang berbakat Rina.” “Puisi yang bagus Rido.” “Sudah bagus, berlatih terus.” “Kata – katanya indah, ibu suka.” Dan banyak komentar lainnya. Sinta membayangkan, pujian apa yang akan dilontarkan Bu Sri bila membaca puisi ciptaannya. Apakah kata – kata seperti ini, “Ini betul – betul puisi yang indah, ibu bangga padamu.” Atau “Ibu tidak heran kalau suatu hari nanti kamu menjadi seorang ……” “Sinta..” suara Bu Sri membuyarkan lamunan Sinta. Dengan cepat dan gugup Sinta menghampiri meja Bu Sri. “Sinta, kita memang ingin memberikan sesuatu yang terbaik. Tetapi bukan berarti kita berhak menjiplak karya orang lain.” Kata Bu Sri lembut, namun tegas.
Kata – kata Bu Sri sangat jauh dari apa yang ingin didengar Sinta. Badan Sinta bergetar. “Maksud ibu?” Tanya Sinta dengan suara bergetar juga. “Sinta, puisi ini sangat… sangat indah. Ibu pikir kata – kata puisi ini, tidak mungkin digunakan anak – anak seumuran kalian. Kalau kamu mau minta maaf, Ibu akan memberikanmu kesempatan untuk membuat puisi lagi.” Kata Bu Sri sambil menatap Sinta. Sinta tidak berani menatap Bu Sri. Matanya berkaca – kaca. Sinta tidak menyangka, Bu Sri menuduhnya menjiplak karya orang lain. Sesuatu hal yang sangat memalukan dan tidak mungkin dilakukannya. Sinta mengambil kertas tugasnya yang diberikan Bu Sri, lalu kembali ke tempat duduknya dengan lunglai.                                                               
Sejak kejadian hari itu, Sinta hanya menulis puisi yang asal jadi saja. Selain itu, Sinta jadi malas ke sekolah. Terutama untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia kesukaannya dulu. Awalnya, Sinta enggan menceritakan kejadian yang membuatnya sedih itu. Namun, ia akhirnya menceritakan kekecewaan hatinya itu pada mama. “Jadi, begitu persoalannya?” Tanya mama sambil merangkul bahu Sinta. “Bu Sri memang tidak sampai mempermalukan Sinta di depan kelas. Tapi, tuduhan Bu Sinta sangat menyakitkan perasaan Sinta, Ma.” terang Sinta. “Apakah Sinta sudah menjelaskan kepada Bu Sri, bahwa hal itu tidak benar? Kenapa Sinta tidak memperlihatkan puisi – puisi Sinta yang lain, yang selama ini Sinta ciptakan?” Tanya Mama lembut. “Percuma, Ma.” Sinta menggeleng pelan. “Jadi?” “Sinta tidak akan menuis puisi lagi.” Putus Sinta mantap. “Sin, anggap saja tuduhan Ibu Sri itu sebagai pujian.” Kata mama serius. “Maksud mama?” Tanya Sinta bingung. “Bayangkan, Bu Sri tidak percaya bahwa puisi itu diciptakan anak seusia kamu. Bukankah itu sebuah sanjungan?” terang Mama. Sinta merenung. Betul juga kata – kata mama barusan. Berarti Bu Sri menganggap puisinya betul – betul bagus. “Sekarang tinggal kamu buktikan bahwa Bu Sri salah,” lanjut Mama. “Caranya?” “Dengan terus menulis,” kata Mama, sambil memeluk Sinta.
Esok harinya, Sinta terkejut ketika Bu Sri memintanya tinggal di dalam kelas, setelah bel pulang berbunyi. “Sinta, ada yang mau Ibu perlihatkan kepadamu,” kata bu Sri sambil memperlihatkan sebuah benda yang sangat dikenalnya. Diari kesayangannya. Bagaimana sampai bisa ditangan Bu Sri? “Ibu menemukan ini di bangku taman, dua hari yang lalu. Kamu meninggalkannya, karena terburu – buru masuk ke dalam kelas,” Bu Sri menjawab kebingungan Sinta. “Maafkan Ibu, kalau sudah membaca buku diarimu. Maafkan jika kalau ibu, sudah menuduhmu menjiplak karya orang lain. Puisi – puisi di dalam buku diari itu sungguh indah. Sukar dipercaya bahwa puisi itu diciptakan anak seusiamu. Ibu sungguh bangga padamu. Ibu yakin, suatu hari nanti, kamu akan menjadi penulis yang hebat,” kata Bu Sri bersungguh – sungguh.                                                                                                                                                   
“Tidak perlu minta maaf, bu. Justru Ibu, sudah menolong saya untuk terus menciptakan puisi yang lebih baik lagi,” kata Sinta tulus. “Satu lagi. Ibu sudah menemukan orang yang tepat untuk mewakili sekolah di lomba cipta puisi bulan depan. Namanya Sinta Rahayu, murid V B,” kata Bu Sri. “Sekarang pulang, ciptakan puisi terindah buat Bu Guru,” usir Bu Sri bergurau. Sinta tersenyum puas. Dunia sekelilingnya terasa indah, seidah puisi yang akan dipersembahkannya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar